Bunda sekalian yang dirahmati Allah…
Seorang chef di restoran, pandai dalam membuat rasa enak pada makanan dikarenakan ia sudah berletih-letih untuk kursus, tak henti mencoba dan terus belajar.
Seorang montir di bengkel, ahli dalam memperbaiki kendaraan dikarenakan ia sudah berlelahlelah untuk kursus, menambah jam terbang dan terus menerus belajar.
Bayangkan Bunda Sekalian…
Jika seorang chef yang menyajikan makanan dan montir yang memperbaiki kendaraan, mereka perlu kursus dan belajar; maka apakah menjadi orang tua yang amanahnya adalah mendidik anak, tidak butuh belajar?
Tentu saja, orang tua sangat perlu untuk belajar.
Seorang chef dan montir yang status bekerjanya dalam sehari hanya 8-12 jam saja, perlu belajar. Apalagi orang tua yang sejak anaknya lahir ke dunia, statusnya tak pernah berhenti selama 24 jam dalam sehari semalam, tentu lebih-lebih lagi sangat butuh untuk belajar.
Anak Adalah Amanah
Anak adalah amanah yang dititipkan Allah ta’ala, yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الِْْمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ يفِ أهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya. Seorang lelaki merupakan seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Syaikh Abdurrazaq menerangkan bahwa kata “ مَسْئُولٌ” adalah sebagai bentuk pengingat akan adanya pertanyaan dari Allah ta’ala kepada hambaNya tentang suatu amanah tatkala ia berdiri di hari kiamat. (Rakaaiz fii Tarbiyatil Abna, Hal. 5).
Terkait amanah orang tua yang kelak akan ditanya di hari kiamat, Ibnul Qayyim menyebutkan perkataan sebagian ahli ilmu,
“Sesungguhnya Allah akan terlebih dahulu bertanya tentang sikap orang tua terhadap anaknya, sebelum Allah bertanya tentang bagaimana sikap anak terhadap orang tuanya. Karena sesungguhnya sebagaimana orang tua memiliki hak atas anak, maka anak pun memiliki hak atas orang tua.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkaamil Maulud, Hal. 229).
Imam Al Ghazali menuturkan, “Ketahuilah bahwa anak itu adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya masih suci bagaikan permata yang polos nan mulus, yang terbebas dari semua guratan goresan dan ukiran. Hati seorang anak bisa saja tergores dan penuh bercak noda, dikarenakan hatinya mudah condong pada sesuatu yang diarahkan padanya. Jika orang tua membiasakan anaknya dengan kebaikan, berusaha mendidik dan mengajarkan anaknya, maka anaknya akan tumbuh di atas kebaikan, sehingga orangtuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat kelak.” (Al Wajiiz fit Tarbiyah, Hal. 1)
Anak adalah amanah, yang kita sebagai orang tua dibebani kewajiban oleh Allah untuk mendidiknya. Inilah diantara alasan: “Mengapa Orang Tua Harus Belajar”.
Rusaknya Anak; Akibat Orang Tua Yang Tidak Mau Belajar
Ibnul Qayyim menghadiahi anak kandungnya yang baru saja dikaruniai keturunan dengan sebuah kitab yang ditulis dalam semalam. Kitab itu berjudul Tuhfatul Maudud bi Ahkaamil Maulud. Di dalam kitab tersebut, dijabarkan panjang lebar apa-apa saja fikih yang seharusnya diketahui orang tua untuk diterapkan pada anaknya.
Terkait pendidikan anak dan keharusan orang tua untuk belajar, Ibnul Qayyim memberikan kalimat-kalimat menohok yang membuat kita jadi merenung dan berkaca.
Bunda sekalian juga ingin membacanya? Mari buka mata hati dan kita simak bersama!
“Betapa banyak orang tua yang mencelakakan buah hatinya di dunia dan akhirat sebab ia tidak memberi perhatian dan tidak mendidik anak mereka. Orang tua memberikan segala sesuatu dalam rangka memenuhi syahwat anaknya. Mereka mengira dengan berbuat demikian, telah memuliakan dan memberikan kasih sayang pada anaknya. Padahal sejatinya, ia justru telah mencelakakan anaknya. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari kehadiran anaknya.”
Ibnul Qayyim masih melanjutkan,
“Jika engkau mencermati kerusakan yang ada pada diri anak, maka engkau akan dapati bahwa pada umumnya, orang tua adalah sebab utamanya.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkaamil Maulud, Hal. 351)
Iya, benar. Anak yang susah diatur, gemar membuat masalah dan kegaduhan, serta tumbuh di atas kerusakan; umumnya disebabkan orang tua yang lalai dalam mendidiknya.
Mindset Sebagai Orang Tua
Apabila kita memandang anak kita sebagai aset jariyah yang berharga, yang nantinya dapat membantu bekal akhirat kita, maka sudah selayaknya kita mencurahkan tenaga dan memprioritaskan waktu untuk berusaha mendidik mereka.
Orang tua-lah yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Yang mengajarkan nilai akidah yang kuat. Yang mendidik untuk rajin shalat. Yang membentuk akhlak dan adab. Orang tua pula yang menjadi kunci tumbuh baiknya seorang anak. Orang tua juga seharusnya turut andil dalam rantai pahala yang dirakit oleh anaknya kelak.
Inilah mindset, yang membuat kita semangat untuk terus menerus belajar, agar bisa mengajari anak kita. Sebab tak akan bisa kita mendidik dan mengajar, kalau kita tidak mau belajar
Kata pepatah Arab: Faaqidusy Syai’ Laa Yu’thii. Jika tidak memiliki, maka tidak akan bisa memberi.
Bagaimana orang tua mau mengajarkan akidah, jika orang tuanya sendiri tidak paham tentang beda antara tauhid dan kesyirikan? Tak tahu detail tentang sunnah dan bid’ah. Tak mengerti rincian wudhu dan shalat yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak pula paham tentang akhlak dan adab, mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang.
Bagaimana kunci-kunci kebaikan bagi anak akan terbuka, jika orang tua tidak mengajari dan membuka jendela dunia anaknya?
Lihatlah bagaimana para ulama terdahulu, menyelesaikan “ilmu-ilmu dasar” terlebih dahulu dengan orang tua dan keluarga dekatnya. Sehingga kemudian barulah sang anak bertualang mencari tetesan ilmu di samudra yang lainnya.
Allah Yang Memerintahkan
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah memerintahkan agar membuka hati dan memasang telinga, setiap kali mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang diawali dengan seruan “Wahai orangorang yang beriman”, sebab setelah seruan ini pasti hanya ada dua kemungkinan : Perintah, yang kita disuruh untuk mengerjakan. Atau larangan, yang kita disuruh untuk meninggalkan.
Mari Bunda sekalian, kita simak firman Allah berikut,
يٰۤايُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٰۤا انْفُسَكُمْ وَاهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At Tahrim : 6)
Ali bin Abi Thalib menerangkan yang dimaksud dengan menjaga diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan mengatakan, “Ajarkan ilmu dan didik mereka.” (Jaamiul Bayaan fii Ta’wilil Qur’an, 103/23)
Syaikh Abdurrazzaq menegaskan, “Maka ayat ini sudah sangat cukup menjadi dasar yang kuat terkait kewajiban bagi orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya dan memberikan pendidikan kepada mereka.” (Rakaaiz fii Tarbiyatil Abna, Hal. 4)
Lantas, masihkah ada alasan bagi orang tua untuk tidak belajar?
Orang Tua Nanti Akan Ditanya
Masihkah kita mengira bahwa status kita sebagai orang tua tidak akan ditanya pada hari akhir kelak?
ايَحْسَبُ الِْْنْسَانُ انْ يُّتَْْكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah : 36).
Tidak takutkah kita jika menyia-nyiakan amanah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما مِن عَبْدٍ اسْتَْْعاهُ الَّلَُّ رَعِيَّةً، فَلمْ يَحُطْها بنَصِيحَةٍ، إلَّْ لمْ يَجِدْ رائِحَةَ الجَنَّ ةِ
“Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah, akan tetapi dia tidak menunaikan amanah itu dengan sebenar-benarnya, melainkan ia tidak akan mencium wangi surga.” (HR.
Bukhari : 7150, Muslim: 142).
Anak adalah amanah, yang kita disuruh untuk menjaga dan mendidiknya. Oleh karenanya, agar bisa menjalankan perintah ini dengan baik, kita sebagai orang tua harus belajar.
Maroji’ :
Tuhfatul Maudud bi Ahkaamil Maulud, Ibnul Qayyim
Fiqh Tarbiyatil Abna, Musthofa Al Adawy
Rakaaiz fii Tarbiyatil Abna, Abdurrazzaq Abdul Muhsin Al Badr
Al Wajiiz fit Tarbiyah, Yusuf Muhammad Al Hasan