Ada sebagian orang tua yang berpandangan bahwa mengajarkan agama kepada anak nanti-nanti saja ketika sudah dewasa. Kasihan kalau masih kecil disuruh belajar agama dan menghafal hadits dan Al Qur’an, begitu katanya.
Kenapa jika dikaitkan dengan pelajaran agama timbul rasa kasihan? Sedangkan jika belajar tentang ilmu keduniaan justru malah berambisi besar.
Mari kita lihat salah seorang ulama bernama Abu ‘Aashim rahimahullah yang berkata,
ذهبت بابني إلى ابن جريج، و هو ابن أقل من ثلاث سنين؛ فحدّثه بهذا الحديث و القرآن
“Aku ajak anakku pergi belajar ke tempat Ibnu Juraij, ketika itu usia anakku usianya masih 3 tahun.”
Abu ‘Aashim melanjutkan,
لا بأس بأن يُعلّم الصبي الحديث و القرآن و هو في هذا السنّ و نحوه
“Tidak masalah bila anak diajarkan hadits dan Qur’an, meski anak masih usia dini dan semisalnya.” (Al Kifaayah, hal. 155)
Tentu dalam pengajaran, disesuaikan bahasa dengan nalarnya.
Tapi yang jelas, pendidikan agama untuk anak itu harus sedini mungkin. Lihat bagaimana ulama mengajak anaknya yang berusia 3 tahun untuk belajar bersama. Apalagi untuk anak kita yang usianya lebih dari itu, harusnya perhatian kita lebih besar lagi.
Dimulai dari bab apa pelajaran untuk anak yang berusia dini?
Syaikh ‘Aadil Alu Hamdan Al Ghamidiy menuturkan,
و ليهتمّ معلّم الصبيان بتعليمهم ما ينفعهم من العلوم مما فيه العمل : كأحكام الصلاة، و الصيام، و الحجّ، و الأذكار، و الآدب، و الأخلاق، و غيرها مما يحتاجون إليه، و تدرك عقولهم
“Hendaknya setiap pengajar anak-anak mengajari anak-anak dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka berupa ilmu-ilmu yang dengannya anak-anak beramal; semisal hukum-hukum salat, puasa, haji, zikir-zikir, adab, akhlak dan ilmu lainnya yang DIBUTUHKAN anak dengan catatan bisa dijangkau oleh nalar dan akal mereka.” (Al Ihtifal bi Ahkaam wa Aadabil Athfaal, hal 57-59)
Semoga bermanfaat dan membuat kita para orang tua ataupun pendidik anak makin bersemangat.
Baarakallaahu fiikum..
••• ════ °° ════ •••
Ditulis oleh :
Kak Erlan Iskandar,
Yogyakarta, 27 Al Muharram 1442H