Zaman kita ini adalah masa-masa dimana dijumpai banyak sekali kenikmatan. Banyaknya fasilitas dan teknologi yang kian canggih, memudahkan kita untuk menggali ilmu.
Sayangnya, kita lupa mensyukuri hal ini dan justru malah terlalaikan, sehingga menyusutlah nilai-nilai keberkahan.
Tak ada salahnya, jika kita melihat bagaimanakah semangat juang para ulama terdahulu dalam mendidik anaknya dan mengajaknya anak berjuang bersama untuk menuntut ilmu agama.
Adalah Imam Abul Waqt As Sajzi* (Wafat 553 H) yang menuturkan bagaimana beliau dididik dan diajak berjuang bersama ayahandanya dalam belajar hadits Nabi shallallahu \’alaihi wa sallam.
\”Aku dahulu pergi bersama ayahku untuk menyimak kajian Shahih Bukhari dengan berjalan kaki dari Hirrah menuju Bosang,\” kata sang Imam mulai bercerita.
Setelah kami telusuri, jarak antara Bosang itu adalah sebuah kota di Khurasan yang berada di tepi sebuah lembah berhutan lebat yang bernama Hirrah. Jarak antara Bosang dan Hirrah itu sekitar 10 farsakh.
Itu artinya Imam Abul Waqt As Sajzi berjalan kaki bersama ayahnya untuk belajar hadits, sejauh 55 km. Ini jarak yang lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun ada yang unik dan mengagumkan dari kisah ini.
\”Saat perjalanan, ayahku memberikan dua batu di tanganku seraya berkata \’bawalah dua batu itu\’,\” sang Imam melanjutkan kisahnya.
Sepanjang perjalanan, beliau yang masih belia kala itu diperintahkan membawa dua batu di tangannya. Ayahnya sengaja berjalan di belakangnya sembari memperhatikan keadaan anaknya.
Jika beliau terlihat kelelahan maka ayahnya bertanya, \”Apakah kamu lelah?\”
Kemudian sang ayah memerintahkan beliau untuk membuang satu batu yang ada di tangannya. Lalu dilanjutkanlah perjalanan.
Ketika beliau kembali terlihat lelah maka sejurus kemudian sang ayah bertanya, lalu dibuanglah batu yang tersisa di tangannya. Perjalanan belum usai, namun beliau sangat merasa kelelahan.
\”Saya berjalan hingga tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan. Seketika itu pula, ayahku langsung menggendongku untuk bisa melanjutkan perjalanan.\”
Di tengah jalan, Imam Abul Waqt As Sajzi bersama Ayahnya yang bernama Syaikh Isa, bertemu dengan sekelompok orang yang merasa kasihan dengan keadaan Imam Abul Waqt As Sajzi.
\”Wahai Syaikh Isa, biarkan kami membawa anak anda ini. Anda silakan lanjutkan perjalanan menuju Bosang dengan kendaraan,\” pinta mereka.
Sang ayah pun sejurus kemudian berkata dengan tegas, \”Kami tidaklah naik kendaraan, akan tetapi kami berjalan untuk mendapat besarnya ganjaran. Tatkala anakku merasa lelah, biarlah ku gendong di atas kepalaku, sebagai penghormatan terhadap hadits Nabi shallallahu \’alaihi wa sallam dan berharap pahala dari Allah jalla jalaluh.\”
Imam Abul Waqt As Sajzi pun berkata,
\” ���Buah dari pendidikan ayahku itu, aku bisa belajar dan mendengarkan hadits Shahih Bukhari dengan niat yang lurus. Hingga sampai akhir belajar, hanya aku yang tersisa tak ada lagi teman belajar yang lainnya. Justru malah kemudian orang-orang dari berbagai negara datang untuk belajar kepadaku.\”
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
☀️Ini pelajaran berharga untuk para orang tua yang hari-hari ini mengeluh dalam membersamai anak-anaknya belajar.
Padahal dimudahkan hanya belajar online dan tak perlu menempuh perjalanan panjang.
Semoga kita para orang tua bisa merenung dan mengambil pelajaran.
—
*Kisah Imam Abul Waqt As Sajzi kami terjemahkan dari nukilan Siyar A\’lam An Nubala 20/308 ( bit.ly/3sHl8O3 ) dengan sedikit penyesuaian bahasa.
••• ════ °° ════ •••
✍���Al Faqir ilaa Maghfirati Rabbih
Kak Erlan Iskandar
Sleman ketika turun hujan, 7 Jumadal Akhirah 1442H